Selasa, 12 November 2013

materi seminar revitalisasi peran bahasa, sastra, dan budaya

Revitalisasi Peran Bahasa, sastra, dan Budaya.
M. Dahlan Abubakar
            Dari paparan tersebut, ada beberapa kata kunci yang perlu mendapat perhatian jika kita menginginkan bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa pergaulan dunia.
1.      Pemerintah harus menekankan perlunya secara sadar agar seluruh pejabat konsisten menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai forum mana pun dan di mana pun, khususnya bagi Presiden Republik Indonesia.
2.      Pemerintah sudah saatnya membentuk lembaga pendidikan bahasa Indonesia yang “menempel” pada perwakilan/kantor kedutaan RI di luar negeri untuk melayani negara yang bersangkutan belajar bahasa Indonesia.
3.      Pemerintah harus memberi bantuan kepada perguruan tinggi di Indonesia yang menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi asing yang mengirim mahasiswanya belajar bahasa Indonesia di Indonesia.
4.      Perlu disediakan beasiswa bagi mahasiswa asing yang hendak belajar bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
5.      Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu melaksanakan program pengiriman tenaga dosen bahasa Indonesia mengajar bahasa Indonesia di beberapa universitas yang sudah mengampu bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliahnya.
Peran sastra sebagai pembentuk karakter bangsa yang didasari oleh kesadaran multikultural
Pujiharto
1.      Dinamika pengertian sastra
Wellek dan Warren (1956) mengatakan bahwa sastra memiliki definisi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Perubahan definisi tersebut menunjukkan bahwa ilmu sastra sebagai salah satu disiplin ilmu terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bila empat orientasi sastra yang dikemukakan Abrams (1999) dijadikan sebagai dasar pendefinisian, secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa orientasi mimetik dan mendefinisikan sastra sebagai tiruan kenyataan.
2.      Sastra dalam perspektif pascastrukturalisme
Pascastrukturalisme memandang sastra sebagai teks. Teks itu sendiri didefinisikan sebagai kompleksitas tanda bagai jaring-jaring yang bersifat bolak-balik, ke depan dan ke samping. Tanda itu sendiri dalam cara pandang pascastrukturalisme dipahami bukan sebagai hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat tertutup dan stabil seperti dikemukakan kaum strukturalis, tetapi sebagai relasi antara penanda dan petanda yang bersifat terbuka dan labil yang karenanya di dalamnya tidak pernah ada kepenuhan makna. Sejalan dengan kemunculan teori pascastruturalisme, sastra sebagai sistem tanda (teks) dipandang sebagai karya yang mampu menciptakan kenyataan.
3.      Karakter bangsa yang didasari oleh kesadaran multikultural
Istilah karakter yang berasal  dari bahasa Inggris character memiliki beberapa arti, diantaranya:
a.       Kombinasi kualitas yang membuat orang, benda, tempat, dan lain-lain yang partikular yang berbeda dari yang lain
b.      Sebuah kombinasi kualitas yang diperhatikan sebagai berharga atau terpuji seperti prinsip-prinsip utama, kejujuran, dan sejenisnya.
Bila dihubungkan dengan cara pandang pascastrukturalisme, definisi character, yaitu kombinasi kualitas yang membuat orang, benda, tempat, dan lain-lain yang partikular yang berbeda dari yang lain.
4.      Karya sastra sebagai pembentuk karakter yang didasari oleh kesadaran multikultural
Kepluralan karya sastra memiliki hubungan berbanding lurus dengan cara pandang yang digunakan untuk membacanya, yaitu pascastrukturalisme. Karena dalam perspektif pascastrukturalisme sastra dipandang sebagai teks yang mengandung pluralis makna, bahwa pluralitas makna itu inheren di dalam karya sastra, yang berarti pula, dalam lingkup yang lebih luas, yaitu sastra dalam hubungannya dengan masyarakat, sastra selalu menggambarkan pluralis budaya, maka dengan sendirinya di balik pluralitas itu terkandung kesadaran multikultural. Namun, pada kenyataannya banyak teks sastra yang mendominankan cara pikir logosentris.

ETNOSAINS, ETNOTEK DAN ETNOART
Paradigma fenomenologis untuk revitalisasi kearifan lokal
Heddy Shri Ahimsa-Putra
Revitalisasi kearifan lokal memerlukan penggunaan paradigma baru dalam penelitian sosial-budaya. Paradigma baru ini adalah paradigma etnosains, yang ada dalam Antropologi Budaya. Paradigma etnosains ditunjukkan untuk mengungkapkan sisi ideational dari kebudayaan, atau aspek pengetahuan dari kebudayaan. Kebudayaan dilihat dari sisi ini merupakan perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas atau masyarakat, yang digunakan sebagai pedoman untuk menghadapi lingkungannya. Definisi ini sejajar dengan definisi kearifan local yang telah dikemukakan disini. Oleh karena itu, Etnosains merupakan paradigma dalam penelitian kebudayaan yang paling tepat digunakan untuk mengungkap kearifan-kearifan lokal masyarakat.
Secara filosofis, paradigma Etnosains berada dalam satu jalur dengan filsafat Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Filsafat fenomenologi bertujuan mendeskripsikan “kesadaran” yang dimiliki oleh manusia. Namun, kalau filsafat fenomenologi bertujuan mencapai fenomena kesadaran tersebut lewat metode-metode filosofis-fenomenologis, penelitian social budaya bertujuan mencapai kesadaran tersebut lewat penelitian-penelitian terhadap kehidupan manusia dan wacana-wacana dalam kehidupan tersebut. Filsafat fenomenologi mengasumsikan adanya “ kesadaran-kesadaran” yang bersifat universal, sedang Etnosains beranggapan bahwa adanya kesadaan semacam itu harus dibuktikan terlebih dahulu lewat penelitian-penelitian atas fenomena empiris. Selain itu, kesadaran dalam perspektif Etnosains merupakan kesadaran yang bersifat kolektif, social yang merupakan hasil dari komunikasi antar individu dengan mengunakan bahasa. Oleh karena itu, penelitian dengan paradigma etnosains sangat banyak memperhatikan bahasa lokal. Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini, filsafat Fenomenologi memberi basis filosofis pada paradigm Etnosains.
Dalam antropologi budaya, penelitian etnosains telah diterapkan pada berbagai bidang, diantaranya adalah pada kajian tentang sistem kesehatan dan pegobatan lokal, tentang pertanian, perikanan, perumahan, lingkungan dan juga tentang kesenian. Berbagai hasil penelitian ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk penyusunan program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun hingga saat ini, upaya-upaya untuk memanfaatkan hasil-hasil kajian tersebut masih belum maksimal. Banyak hasil penelitian etnosains yang belum dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang telah diteliti.
Apabila program-program pembangunan atau pengembangan pengetahuan, teknologi dan kesenian yang berbasis kearifan lokal diinginkan keberhasilannya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka perspektif etnosains, etnoetik dan etnoart tampaknya sama sekali tidak dapat ditinggalkan, mengingatkan fundamentalnya perspektif ini bagi upaya-upaya tersebut, serta kecocokannya dengan etika.
Dengan menggunakan paradigma etnosains (termasuk didalamnya etnotek dan etnoart) kita akan dapat:
a.       memahami dan mengungkapkan kearifan-kearifan local, yang kemudian
b.      dapat kita jadikan basis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat-masyarakat local,

c.       melalui perencanaan-perencanaan yang berbasis kearifan lokal juga. Dengan kata lain, paradigma etnosains memungkinkan dilakukannya penyejahteraan masyarakat lewat proses yang lebih partisipatif, lebih manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar