Revitalisasi
Peran Bahasa, sastra, dan Budaya.
M.
Dahlan Abubakar
Dari
paparan tersebut, ada beberapa kata kunci yang perlu mendapat perhatian jika
kita menginginkan bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa pergaulan dunia.
1.
Pemerintah
harus menekankan perlunya secara sadar agar seluruh pejabat konsisten
menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai forum mana pun dan di mana pun,
khususnya bagi Presiden Republik Indonesia.
2.
Pemerintah
sudah saatnya membentuk lembaga pendidikan bahasa Indonesia yang “menempel”
pada perwakilan/kantor kedutaan RI di luar negeri untuk melayani negara yang
bersangkutan belajar bahasa Indonesia.
3.
Pemerintah
harus memberi bantuan kepada perguruan tinggi di Indonesia yang menjalin kerja
sama dengan perguruan tinggi asing yang mengirim mahasiswanya belajar bahasa
Indonesia di Indonesia.
4.
Perlu
disediakan beasiswa bagi mahasiswa asing yang hendak belajar bahasa Indonesia
di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
5.
Pemerintah
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perlu melaksanakan program
pengiriman tenaga dosen bahasa Indonesia mengajar bahasa Indonesia di beberapa
universitas yang sudah mengampu bahasa Indonesia sebagai salah satu mata
kuliahnya.
Peran
sastra sebagai pembentuk karakter bangsa yang didasari oleh kesadaran multikultural
Pujiharto
1.
Dinamika
pengertian sastra
Wellek dan Warren (1956)
mengatakan bahwa sastra memiliki definisi yang berubah-ubah dari waktu ke
waktu. Perubahan definisi tersebut menunjukkan bahwa ilmu sastra sebagai salah
satu disiplin ilmu terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bila empat
orientasi sastra yang dikemukakan Abrams (1999) dijadikan sebagai dasar
pendefinisian, secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa orientasi mimetik dan
mendefinisikan sastra sebagai tiruan kenyataan.
2.
Sastra
dalam perspektif pascastrukturalisme
Pascastrukturalisme memandang
sastra sebagai teks. Teks itu sendiri didefinisikan sebagai kompleksitas tanda
bagai jaring-jaring yang bersifat bolak-balik, ke depan dan ke samping. Tanda
itu sendiri dalam cara pandang pascastrukturalisme dipahami bukan sebagai
hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat tertutup dan stabil seperti
dikemukakan kaum strukturalis, tetapi sebagai relasi antara penanda dan petanda
yang bersifat terbuka dan labil yang karenanya di dalamnya tidak pernah ada
kepenuhan makna. Sejalan dengan kemunculan teori pascastruturalisme, sastra
sebagai sistem tanda (teks) dipandang sebagai karya yang mampu menciptakan
kenyataan.
3.
Karakter
bangsa yang didasari oleh kesadaran multikultural
Istilah karakter yang
berasal dari bahasa Inggris character memiliki beberapa arti,
diantaranya:
a.
Kombinasi
kualitas yang membuat orang, benda, tempat, dan lain-lain yang partikular yang
berbeda dari yang lain
b.
Sebuah
kombinasi kualitas yang diperhatikan sebagai berharga atau terpuji seperti
prinsip-prinsip utama, kejujuran, dan sejenisnya.
Bila dihubungkan
dengan cara pandang pascastrukturalisme, definisi character, yaitu kombinasi
kualitas yang membuat orang, benda, tempat, dan lain-lain yang partikular yang
berbeda dari yang lain.
4.
Karya
sastra sebagai pembentuk karakter yang didasari oleh kesadaran multikultural
Kepluralan karya sastra memiliki
hubungan berbanding lurus dengan cara pandang yang digunakan untuk membacanya,
yaitu pascastrukturalisme. Karena dalam perspektif pascastrukturalisme sastra
dipandang sebagai teks yang mengandung pluralis makna, bahwa pluralitas makna
itu inheren di dalam karya sastra, yang berarti pula, dalam lingkup yang lebih
luas, yaitu sastra dalam hubungannya dengan masyarakat, sastra selalu
menggambarkan pluralis budaya, maka dengan sendirinya di balik pluralitas itu
terkandung kesadaran multikultural. Namun, pada kenyataannya banyak teks sastra
yang mendominankan cara pikir logosentris.
ETNOSAINS,
ETNOTEK DAN ETNOART
Paradigma
fenomenologis untuk revitalisasi kearifan lokal
Heddy
Shri Ahimsa-Putra
Revitalisasi
kearifan lokal memerlukan penggunaan paradigma baru dalam penelitian
sosial-budaya. Paradigma baru ini adalah paradigma etnosains, yang ada dalam
Antropologi Budaya. Paradigma etnosains ditunjukkan untuk mengungkapkan sisi ideational dari kebudayaan, atau aspek
pengetahuan dari kebudayaan. Kebudayaan dilihat dari sisi ini merupakan
perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas atau masyarakat, yang
digunakan sebagai pedoman untuk menghadapi lingkungannya. Definisi ini sejajar
dengan definisi kearifan local yang telah dikemukakan disini. Oleh karena itu,
Etnosains merupakan paradigma dalam penelitian kebudayaan yang paling tepat
digunakan untuk mengungkap kearifan-kearifan lokal masyarakat.
Secara
filosofis, paradigma Etnosains berada dalam satu jalur dengan filsafat
Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl. Filsafat fenomenologi
bertujuan mendeskripsikan “kesadaran” yang dimiliki oleh manusia. Namun, kalau
filsafat fenomenologi bertujuan mencapai fenomena kesadaran tersebut lewat
metode-metode filosofis-fenomenologis, penelitian social budaya bertujuan
mencapai kesadaran tersebut lewat penelitian-penelitian terhadap kehidupan
manusia dan wacana-wacana dalam kehidupan tersebut. Filsafat fenomenologi
mengasumsikan adanya “ kesadaran-kesadaran” yang bersifat universal, sedang
Etnosains beranggapan bahwa adanya kesadaan semacam itu harus dibuktikan
terlebih dahulu lewat penelitian-penelitian atas fenomena empiris. Selain itu,
kesadaran dalam perspektif Etnosains merupakan kesadaran yang bersifat
kolektif, social yang merupakan hasil dari komunikasi antar individu dengan
mengunakan bahasa. Oleh karena itu, penelitian dengan paradigma etnosains
sangat banyak memperhatikan bahasa lokal. Terlepas dari perbedaan-perbedaan
ini, filsafat Fenomenologi memberi basis filosofis pada paradigm Etnosains.
Dalam
antropologi budaya, penelitian etnosains telah diterapkan pada berbagai bidang,
diantaranya adalah pada kajian tentang sistem kesehatan dan pegobatan lokal,
tentang pertanian, perikanan, perumahan, lingkungan dan juga tentang kesenian.
Berbagai hasil penelitian ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk penyusunan
program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun hingga saat ini,
upaya-upaya untuk memanfaatkan hasil-hasil kajian tersebut masih belum
maksimal. Banyak hasil penelitian etnosains yang belum dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang telah diteliti.
Apabila
program-program pembangunan atau pengembangan pengetahuan, teknologi dan kesenian
yang berbasis kearifan lokal diinginkan keberhasilannya dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat, maka perspektif etnosains, etnoetik dan etnoart
tampaknya sama sekali tidak dapat ditinggalkan, mengingatkan fundamentalnya
perspektif ini bagi upaya-upaya tersebut, serta kecocokannya dengan etika.
Dengan
menggunakan paradigma etnosains (termasuk didalamnya etnotek dan etnoart) kita
akan dapat:
a. memahami
dan mengungkapkan kearifan-kearifan local, yang kemudian
b. dapat
kita jadikan basis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat-masyarakat
local,
c. melalui
perencanaan-perencanaan yang berbasis kearifan lokal juga. Dengan kata lain,
paradigma etnosains memungkinkan dilakukannya penyejahteraan masyarakat lewat
proses yang lebih partisipatif, lebih manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar