Selasa, 29 April 2014

Analisi Alur dalam Drama Barabah karya Motinggo Busye

Dalam drama terdapat banyak unsur. Salah satu dari unsur tersebut adalah alur. Alur merupakan jalan cerita atau urut-urutan peristiwa dalam drama. Jenis alur dapat dikelompokkan dengan menggunakan berbagai kriteria.
1. Berdasarkan kriteria urutan waktu:
• Alur maju
Alur maju disebut juga alur kronologis, alur lurus atau alur progresif. Peristiwa-peristiwa ditampilkan secara kronologis, maju, secara runtut dari awal tahap, tengah hingga akhir.
• Alur mundur
Alur mundur disebut juga alur tak kronologis, sorot balik, regresif, atau flash-back. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dari tahap akhir atau tengah dan baru kemudian tahap awalnya.
2. Berdasarkan kriteria jumlah:
• Alur tunggal
Dalam alur tunggal biasanya cerita drama hanya menampilkan seorang tokoh protagonis. Cerita hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh tersebut.
• Alur jamak
Dalam alur jamak, biasanya cerita drama menampilkan lebih dari satu tokoh protagonis. Perjalanan hidup tiap tokoh ditampilkan.
3. Berdasarkan kriteria hubungan antarperistiwa:
• Alur erat
Alur erat disebut juga alur ketat atau padat. Dalam drama yang beralur cepat, susul menyusul, setiap bagian terasa penting dan menentukan.
• Alur longgar
Alur longgar berbanding terbalik dengan alur ketat. Hubungan antarperistiwanya longgar, tersajikan secara lambat, dan diselingi berbagai peristiwa tambahan. Pembaca atau penonton dapat meninggalkan atau mengabaikan adegan tertentu yang berkepanjangan dengan tanpa kehilangan alur utama cerita.
4. Berdasarkan kriteria cara pengakhirannya:
• Alur tertutup
Dalam drama yang beralur tertutup, penampilan kisahnya diakhiri dengan kepastian atau secara jelas.
• Alur terbuka
Dalam drama yang beralur terbuka, penampilan kisahnya diakhiri secara tidak pasti, tidak jelas, serba mungkin. Jadi akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca atau penonton.
5. Dalam Kamus Istilah Sastra, terdapat alur:
• Alur bawahan
Alur kedua atau tambahan yang disusupkan disela-sela bagian alur utama sebagai variasi. Alur bawahan merupakan lakuan tersendiri tetapi yang masih ada hubungannya dengan alur utama. Ada kalanya alur bawahan ini dimaksudkan untuk menimbulkan kontras, adakalanya sejalan dengan alur utama.
• Alur erat (ketat)
Jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam suatu karya sastra, kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita akan terganggu.
• Alur longgar
Jalinan peristiwa yang tidak padu di dalam karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan menganggu jalan cerita.
• Alur menanjak
Jalinan peristiwa dalam satu karya sastra yang semakin menanjak sifatnya.
6. Alur/plot adalah jalan cerita atau urut-rutan peristiwa dalam drama. Jenis alur:
• Alur maju
Tahapan alur maju meliputi: pengenalan masalah, pertikaian, puncak masalah (klimaks), anti klimaks, penyelesaian masalah, cerita selesai.
• Alur mundur/flashback/regresif
Pada alur mundur cerita dimulai dari masa lalu, cerita masa sekarang, kemudian cerita masa yang akan datang.
• Alur campuran
Alur campuran merupakan alur yang dimulai dari awal/masa sekarang, masa lalu, kembali ke masa sekarang, kemudian masa depan.

Dalam drama Barabah karya Motinggo Busye, pengarang menggunakan alur maju, karena cerita dimulai dengan:
1) Pengenalan
Drama ini dimulai dengan penggambaran suasana dalam drama. Tata letak rumah dan keadaan si tokoh.
2) Pertikaian
Pertikaian di mulai ketika seorang wanita montok ke rumah Barabah dan mencari Banio. Saat itu Barabah sangat cemburu, karena dia mengira bahwa wanita itu adalah calon istri yang ke-13 Banio.
Contoh dialog:
Barabah : Sejak engkau datang tadi, saya sudah sabar-sabarkan hati. Saya sudah menyindir-nyindir tapi rupanya saya dibiarkan panas penasaran. (menangis tersedu-sedu). Saya tidak mau melepaskan dia seperti sebelas istrinya yang lain itu. (Zaitu kaget dengan ucapan Barabah itu, ia beranjak ke pintu dan berdiam di situ. Melihatnya Barabah makin kesal dan menantangnya). Jangan lama-lama berdiri di situ! Saya sudah cukup sabar. Nanti kau melihat cicak di loteng lagi dan kau akan berpidato lagi tentang kawin.
Zaitun : ini tentang perkawinan saya, bukan perkawinan ibu!
3) Puncak masalah
Kecemburuan Barabah semakin menjadi ketika suaminya pulang ke rumah dan malah tidak mengenal Zaitun. Banio pun ke stasiun mencari Zaitun yang dianggap telah melukai hati istrinya. Seperginya Banio ke stasiun seorang lelaki ke rumahnya dan Barabah mengira Adibul adalah polisi sewaan Zaitun tadi. Barabah semakin marah dan mengusir Adibul.
Contoh dialog:
Adibul : bukan. Saya kusir
Barabah : bohong! Pasti saudara polisi
Adibul : memang saya dari kantor polisi, tapi saya bukan polisi. Saya kusir sado.
4) Penyelesaian masalah
Orang yang dianggap oleh Barabah sebagai calon istri Banio, ternyata adalah anaknya Banio dari istri ke-6, dan Adibul adalah calon suami Zaitun. Mereka mencari Banio karena mereka ingin meminta restu dari bapaknya. Akhirnya Barabah meminta maaf karena telah menuduh Adibul dan Zaitun yang bukan-bukan. Mereka pun pergi dan Banio memberikan Zaitun sedikit uang untuk biaya di perjalanan.

Contoh dialog:
Banio : jangan menganga.... nanti masuk nyamuk dalam mulut kalian. Aku sudah menyelidiki dengan teliti, bahwa kau (menunjuk Zaitun) adalah anakku akan kawin dengan (menunujuk Adibul). Kenapa dalam perkawinan zaman sekarang mesti membikin pemberitahuan pada orang tua?
Adibul : itulah sebabnya saya datang
5) cerita selesai.

Minggu, 23 Maret 2014

Sejarah Drama di Dunia, Indonesia, dan Sulawesi Selatan

I. Sejarah Drama Dunia
A. Drama Klasik
Yang disebut drama klasik adalah pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani dan Romawi banyak sekali karya drama yang bersifat abadi, terkenal sampai kini.
1.      Drama Yunani
Asal mula drama adalah kultus Dyonesos. Pada waktu itu, drama dikaitkan dengan upacara penyembahan kepada dewa, dan disebut tragedi. Kemudian tragedi mendapat makna lain, yaitu perjuangan manusia melawan nasib. Komedi sebagai lawan kata dari tragedi, pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia.
Ada tiga tokoh Yunani terkenal, yaitu Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato, keindahan bersifat relatif. Karya seni dipandangnya sebagai mimetik, yaitu imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia. Imitasi menurut Plato bukan demi kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi kepentingan kenyataan. Karya Plato yang terkenal adalah “The Republic”.
Aristoteles juga tokoh Yunani yang terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya imitasi kehidupan fisik, tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebajikan dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itu mempunyai watak tertentu.
Sophocles adalah tokoh drama terbesar zaman Yunani. Tiga karyanya yang merupakan tragedi, merupakan karyanya bersifat abadi, dan temanya relevan sampai saat ini. Dramanya adalah "Oedipus Sang Raja", "Oedipus", dan "Antigone". Tragedi tentang nasib manusia yang mengenaskan. Dari karyanya bentuk tragedi Yunani mendapatkan warna khas.Sedang Aristophanes, adalah tokoh komedi dengan karya-karyanya “The Frogs”, “The Waps”, “The Clouds”.
2.      Drama Zaman Romawi
Terdapat tiga tokoh drama Romawi Kuno, yaitu Plutus, Terence, atau Publius Terence Afer, dan Lucius Seneca. Teater Romawi mengambil alih gaya teater Yunani. Mula-mula bersifat religius, lama-lama bersifat mencari uang (show biz). Bentuk pentas lebih megah dari zaman Yunani.

B. Teater Abad Pertengahan
Pengaruh gereja Katolik atas drama sangat besar pada zaman pertengahan ini. Dalam pementasan ada nyanyian yang dilagukan oleh para rahib dan diselingi dengan koor. Kemudian ada pagelaran "Pasio" seperti yang sering dilaksanakan di gereja menjelang upacara Paskah sampai saat ini.
Ciri khas abad Pertengahan, adalah sebagai berikut:
a. Pentas kereta,
b. Dekor bersifat sederhana dan simbolis,
c. Pementasan simultan bersifat berbeda dengan pementasan simultan drama modern.
1.      Zaman Italia
Istilah yang populer dalam jaman Italia adalah Comedia del 'Arte yang bersumber dari komedi Yunani. Tokoh-tokohnya antara lain Dante, dengan karya-karyanya ”The Divina Comedy”, Torquato Tasso dengan karyanya drama-drama liturgis dan pastoral, dan Niccolo Machiavelli dengan karyanya “Mandrake”.
Ciri-ciri drama pada zaman ini, adalah sebagai berikut:
a. Improvisatoris atau tanpa naskah,
b. Gayanya dapat dibandingkan dengan gaya jazz, melodi ditentukan dulu, baru kemudian pemain berimprovisasi (bandingkan teater tradisional di Indonesia),
c. Cerita berdasarkan dongeng dan fantasi dan tidak berusaha mendekati kenyataan,
d. Gejala akting, pantomime, gila-gilaan, adegan dan urutan tidak diperhatikan.
Komedi Italia meluas ke Inggris dan Nederland. Gaya komedi Italia ini di Indonesia kita kenal dengan nama "seniman sinting" atau "seniman miring" dengan tokoh antara lain Marjuki (Drs.). Dibandingkan dengan drama Yunani, maka pada zaman Italia ini materi cerita disesuaikan dengan adegan yang terbatas itu. Trilogi Aristoteles mendapat perhatian.
Tokoh-tokoh pelaku dalam komedi Italia mirip tokoh-tokoh cerita pewayangan, sudah dipolakan yaitu:
a. Arlecchino (The Hero, pemain utama),
b. Harlekyn (punakawan/badut/clown),
c. Pantalone (ayah sang gadis lakon),
d. Dottere (tabib yang tolol),
e. Capitano (kapten perebut gadis lakon),
f. Columbina (punakawan putri),
g. Gadis lakon (primadona yang menjadi biang lakon).
2.      Jaman Elizabeth
Pada awal pemerintahan Raru Elizabeth I di Inggris (1558-1603), drama berkembang dengan pesatnya. Teater-teater didirikan sendiri atas prakarsa sang ratu. Shakespeare, tokoh drama abadi adalah tokoh yang hidup pada jaman Elizabeth.
Ciri-ciri naskah drama jaman Elizabeth, adalah:
a. Naskah puitis,
b. Dialognya panjang-panjang,
c. Penyusunan naskahnya lebih bebas, tidak mengikuti hukum yang sudah ada,
d. Laku bersifat simultan, berganda dan rangkap,
e. Campuran antara drama dan humor.
Tokoh besarnya adalah William Shakespeare (1564-1616), dengan karya-karyanya “The Taming of the Schrew”, “Mid Summer Night Dream”, “King Lear”, “Anthony and Cleopatra”, “Hamlet”, “Macbeth”, dan sebagainya. Hampir semuanya telah diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, Muh. Yamin, dan Rendra.
3.      Perancis (Moliere dan Neoklasikisme)
Tokoh-tokoh drama di Perancis antara lain Pierre Corneille (Melite, Le Cid), Jean Raccine (Phedra), Moliere, Jean Baptista Poquelin (Le Docteur Amoureux/The Love Sick Doctor, LesPreciueuses Rudicules/The Affected Young Lady, dan lain-lain), Voltaire (dengan filsafat dan karyanya yang aneh), Denis Diderot (Le Per De Famille dan Le Fils Naturel), Beaumarchais (La Barbier De Seville/Barber of Seville, Le Mariage de Fogaro/The Marriage of Fogaro).
4.      Jerman (jaman Romantik)
Tokoh-tokohnya antara lain Gotthol Ephraim Lessing (Emilia Galotti, Miss Sara Sampson, dan Nathan der Weise), Wolfgang von Goethe(Faust), Christhop Friedrich von Schiller (The Robbers, Love and Intrique, Wallenstein, dan beberapa adaptasi dari Shakespeare).

C. Sejarah Drama Modern
Dalam bagian ini akan dijelaskan perkembangan drama modern di beberapa negara yang melanjutkan kejayaan tradisi pementasan dan penulisan drama yang telah dimulai pada jaman Yunani Kuno. Akan dikemukakan tokoh drama seperti Ibsen (Norwegia), Strindberg (Swedia), Bernard Shaw (Inggris), tokoh dari Irlandia, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Rusia, dan terakhir Amerika Serikat yang menunjukkan perkembangan pesat. Semua ini sekedar informasi untuk memperluas cakrawala pengetahuan kita di Indonesia tentang perkembangan drama di luar Indonesia.

1.      Norwegia (Ibsen)
Tokoh paling terkemuka dalam penulisan drama di Norwegia adalah Henrick Ibsen (1828-1906). Karyanya yang paling terkenal dan banyak dipentaskan di Indonesia adalah "Nora", saduran dari terjemahan Armyn Pane "Ratna". Karya-karya Ibsen adalah “Love's Comedy”, “The Pretenders”, “Brand and Peer Gynt” (drama puitis), “A doll's House”, “An Enemy of the people”, “The Wild Duck”, “Hedda Gableer”, dan “Roshmersholm”. Ibsen tidak memberikan karakter hitam putih, tetapi tokoh penuh tantangan, watak yang digambarkan kompleks dengan penggambaran berbagai segi kehidupan manusia. Dialognya dengan gaya prosa yang realistis dengan menekankan mutu percakapan dan bersifat realistis. Gagasan yang dikemukakan dapat membangkitakan gairah dan memikat perhatian. Problem yang di angkat dapat menjadi lelucon drama yang besar dan diambil dari problem yang timbul dalam masyarakat biasa.
2.      Swedia (August Strindberg)
Tokoh drama paling terkenal di Swedia adalah Strindberg (1849-1912). Karya-karya drama yang bersifat historis dari Strindberg di antaranya adalah “Saga of the Folkung” dan “The Pretenders”. “Miss Julia” dan “The Father” adalah drama naturalis. Drama penting yang bersifat ekspresionistis adalah “A Dream Play”, “The Dance of Death”, dan “The Spook Sonata”.
3.      Inggris (Bernard Shaw dan Drama Modern)
Tokoh drama modern Inggris yang terpenting (setelah Shakespeare) adalah George Bernard Shaw (1856-1950) . Ia dipandang ssebagai penulis lakon terbesar dan penulis terbesar pada abad modern. Di Ingris Bernard Shaw memenduduki peringkat kedua setelah Shakespeare. Karya-karyanya antara lain adalah “Man and Superman”, “Major Barbara”, “Saint Joan”, “The Devil's Disciple”, dan “Caesar and Cleopatra”.
Tokoh drama modern di Inggris yang lain adalah James M. Barrie (1860-1937), dengan karya “Admirable Crichton”, “What Every Woman Knows”, “Dear Brutus”, dan “Peter Pan”. Noel Coward dengan karya “Blithe Spirit”. Somerest Mugham dengan karya “The Circle”. Christoper Fry dengan karya-karyanya “A Phoenic Too Frequent”, “The Lady's Not for Burning”.
4.      Irlandia (Yeats sampai O'Casey)
Tokoh penting drama Irlandia Modern adalah William Butler Yeats yang merupakan pemimpin kelompok sandiwara terkemuka di Irlandia dan Sean O'Casey (1884) dengan karyanya “The Shadow of a Gunman”, “Juno and the Paycock”, “The Plough and the Stars”, “The Silver Tassie”, “Within the Gates”, dan “The Stars Turns Red”. Tokoh lainnya adalah John Millington Synge (1871-1909) dengan karya-karya “Riders to the Sea” dan “The Playboy of the Western World”. Synge Merupakan pelopor teater Irlandia yang mengangkat dunia teater menjadi penting di sana.
5.      Perancis (dari Zola sampai Sartre)
Dua tokoh terkemuka di Perancis adalah Emile Zola (1840-1902) dan Jean Paul Sartre (1905). Karya-karya Emile Zola adalah “Therese Raquin” yang mirip “A Doll's House”. Eugene Brieux (1858-1932), menulis naskah “Corbeaux” (The Vultures), “La Parisienne” (The Woman of Paris), dan “Les Avaries” (Damaged Gods). Edmond Rostan (1868-1918) dengan karya “Les Romanasques” (The Romancers) dan “Cyrano de Bergerac”. Maurice Materlinck (1862-1949), dengan karyanya “Pelleas et Melisande” yang bercorak romantik. Jean Giraudoux (1882-1944), dengan karyanya “Amphitryen 38” dan “La Folle de Challiot” (The Madwoman of Challiot). Jean Giraudoux juga mengarang karya yang sangat terkenal, yaitu “La Guerre de Troie N'aura pas Lieu” yang diproduksi oleh Teater Broadway dengan judul "Tiger at the Gates". Di Indonesia pernah dipentaskan oleh Darmanto Jt. dengan judul "Perang Troya Tidak Akan Meletus", kisah tentang Hektor dan Helena. Jean Cocteau (1891-…) dengan karyanya La Machine Internale. Di antara pengarang selama Perang Dunia II, Jean Paul Sartre merupakan spotlight. Ia lahir pada tahun 1905 dan merupakan tokoh aliran eksistensialisme. Karya-karyanya antara lain “Huis Clos” (Ni Exit) dan “Les Mouches” (The Flies). Pengarang lainnya adalah Jean Anaoulih (1910-…) dengan karyanya “Le Bal des Voleurs” (Thieve's Carnivaly) dan “Antigone” (terjemahan dari drama Sophocles).
6.      Jerman dan Eropa Tengah (Hauptman sampai Brecht)
Banyak sekali sumbangan Jerman terhadap drama modern. Tokoh seperti Hebbel dan temannya telah mempelopori aliran realisme. Penulis naturalis terkenal adalah Gerhart Hauptman (1862-1946) dan Arthur Schnitzler (1862-1931). Karya Hauptman antara lain adalah “The Weavers”, “The Sunken Bell”, dan “Hannele”. Karya Schnitzler antara lain “Liebelei”, “Anatol” dan “Reigen”. Pengarang lainnya Fernc Molnar (1878-1952) dengan karya “The Play's the Thing”, “The Guardsman”, dan “Liliom”. Karel Capek (1890-1938) dengan karya “The Insect Comedy” yang ditulis bersama kakaknya Yosef. Bertolt Brecht (1898-1956) dengan teaternya yang memiliki ciri-ciri an enthrailling, masterfull, achievment, energetic, forceful, full of humor. Nama teaternya adalah Berliner Ensemble (ciri tersebut berarti memikat, indah sekali, penuh prestasi, penuh energi, daya kekuatan yang tinggi, dan penuh cerita humor). Karya-karya Brecht antara lain “Threepenny Opera”, “Mother Courage”, dan “The Good Woman Setzuan”. Berline Ensemble sangat berpengaruh di masa sesudah Brecht.
7.      Italia (dari Goldoni sampai Pirandillo)
Setelah zaman Renaissance, karya-karya drama banyak berupa opera disamping comedia dell'arte. Tokoh drama Italia antara lain Goldoni (1707-1793) dengan karyanya “Mistress of the Inn”. Gabrielle D'Annunzio (1863-1938) dan Luigi Pirandello (1867-1936) dengan karyanya “Right You Are”, “If You Think You Are”, “As You Desire Me”, “Henry IV”, “Naked”, “Six Characters in Search of an Author”, dan “Tonight We Improvise”.
8.      Spanyol (dari Benavente sampai Lorca)
Bagi Spanyol, abad XX sebagai abad kebangkitan dramatic spirit. Tokohnya antara lain Jacinto Benavente (1866-1954) yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1922. Yang terkenal di Amerika, adalah karyanya yang berjudul “Los Intereses Creados” (The Bonds of Interest) dan “La Marquerida” (The Passion Flower). Sejaman dengan Benavente adalah Gregorio Martinez Sierra (1881-1947) dengan karyanya “The Cradle Song”. Pengarang paling penting pada jaman modern di Spanyol adalah penyair dan penulis drama Frederico garcia Lorca (1889-1936). Dia dipandang sebagai orang yang dikagumi oleh penyair dan dramawan W.S. Rendra. Karya Lorca antara lain adalah “Shoemaker's Prodigius Wife” dan “The House of Bernarda Alba”.
9.      Rusia (dari Pushkin sampai Andreyev)
Tzarina Katerin Agung dipandang sebagai pengembang drama di Rusia. Pengarang pertama yang dipandang serius adalah Alexander Pushkin (1799-1837) dengan karyanya “Boris Godunov”, Sebuah tragedi historis. Nikolai Gogol (1809-1852), menulis antara lain “The Inspector General”. Alexander Ostrovski (1823-1886) menulis “Enough Stupidity in Every Wise Man”. Leo Tolkstoy (1828-1910) menulis “The Power of Darkness” Selanjutnya Anton Pavlovich Chekov(1860-1904) sangat terkenal di Indonesia, dengan karyanya yang diterjemahkan menjadi "Pinangan" dan "Kebun Cherry" (The Cherry Orchid). Pohon Cherry merupakan karya besar Chekov. Karya lainnya adalah “Uncle Vanya”, “The Sea Gull”, dan “The Three Sisters”. Ada kualitas dan ciri yang sama dari karya Chekov, yaitu tragedi senyap, hasrat, kerinduan, dan karakter yang hidup. Pengarang lain adalah Maxim Gorki (1868-1936) dengan karyanya “The Lower Depth”. Leonid Andreyev (1971-1919) dengan karyany “The Live of Man”, “King Hunger”, dan “He Who Gets Slapped”.
10.  Amerika (Godfrey sampai Miller)
Pengarang drama yang paling awal di Amerika adalah Thomas Godfrey, dengan karya “The Prince of Parthia” (1767). Harriet Beecher Stowe (1811-1896) menulis “The Octoroon”. David Belasco (1854-1931) menulis “The Girl of Goldent West”. Bronsin Howard (1842-1908) menulis “Shenandoah”. James A. Henre (1839-1901).



II. Sejarah Drama di Indonesia
A. Drama dan Teater
Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.

B. Sejarah Perkembangan Drama di Indonesia
Sejarah perkembangan drama di Indonesia dipilah menjadi sejarah perkembangan penulisan drama dan sejarah perkembangan teater di Indonesia. Sejarah perkembangan penulisan drama meliputi:
1.      Periode Drama Melayu-Rendah
2.      Periode Drama Pujangga Baru
3.      Periode Drama Zaman Jepang
4.      Periode Drama Sesudah Kemerdekaan
5.      Periode Drama Mutakhir.
Dalam Periode Melayu-Rendah penulis lakonnya didominasi oleh pengarang drama Belanda peranakan dan Tionghoa peranakan.
Dalam Periode Drama Pujangga Baru lahirlah Bebasari karya Roestam Effendi sebagai lakon simbolis yang pertama kali ditulis oleh pengarang Indonesia.
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama.
Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra.
Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.

C. Sejarah Perkembangan Teater di Indonesia
Istilah teater belum muncul di Indonesia pada tahun 1920-an. Istilah yang ada pada waktu itu adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda, Het Tonee)Istilah sandiwara konon diungkapkan kali pertama oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi berarti rahasia, dan wara atau warah yang berarti pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara, sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang (Harymawan, 1993:2). Pada masa itu, rombongan teater menggunakan nama Sandiwara sementara cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada zaman pendudukan Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah zaman kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006:34).
Achmad (2006) menjelaskan bahwa sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut teater, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata cara di mana teater tradisional lahir. Beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia antara lain adalah wayang, wayang wong (wayang orang), mak yong, randai, mamanda, lenong, longser, ubrug, ketoprak, ludruk, ketoprak, gambuh, dan arja.
Perkenalan Indonesia dengan teater modern terjadi pada periode yang disebut sebagai teater transisi. Teater transisi adalah penamaan oleh kelompok teater pada periode tersebut di mana teater tradisional mulai mengalami perubahan karena adanya pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong sebagai kelompok teater tradisional namun dengan penggarapan teknis yang telah mengadopsi unsur-unsur teknik teater Barat dinamakan sebagai teater bangsawan. Perubahan tersebut terutama terlihat jelas pada cerita yang sudah mulai dituliskan meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan), cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi, dan teknik pendukung pertunjukan yang mulai diperhitungkan.
Teater tradisional juga memperoleh pengaruh dari teater Barat yang mulai dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada tahun 1805. Teater produksi orang-orang Belanda tersebut kemudian berkembang pesat di Betawi (Batavia) dan mendorong didirikannya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater nontradisi dimulai ketika Agust Mahieu mendirikan Komedi Stamboel di Surabaya pada tahun 1891. Dalam pementasannya, Komedi Stamboel secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa) yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sejarah sastra, Indonesia mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon pertama oleh orang Belanda, F. Wiggers, berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901, kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913) dan lain-lainnya yang menggunakan bahasa Melayu Rendah.
Teater pada masa kesusastraaan Angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual pada masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an.
Bentuk sastra drama yang pertama kali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antartokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Pujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana.
Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane, menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933). Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada masa pendudukan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya, masih sempat berpikir tentang perlu didirikannya Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi-kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno, dibentuk Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya (anggota). Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru.
Kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang pada masa pendudukan Jepang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini, semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang antibudaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Miss Ribut, Miss Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour, dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya, menulis lakon-lakon seperti Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti Komedi Bangsawan dan Bolero. Dengan cara ini, maka antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa, selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik.
Rombongan sandiwara Dewi Mada diperkuat oleh mantan bintang-bintang Bolero, yaitu Dewi Mada dan suaminya, Ferry Kok. Ferry Kok sekaligus menjadi pemimpin rombongan ini. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masih aktif di rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun 1943, rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia.

Perkembangan tahap awal :
1.      Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
2.      Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
3.      Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang sudah ada.
4.      Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
5.      Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
6.      Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan tabu.
7.      Sebagai pelipur lara.
8.      Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
9.      Melahirkan kesenian tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a. Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.
c. Tidak spesialis.
d. Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
10.  Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a. Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga).
b. Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c. Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d. Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e. Wadah pengembangan ajaran agama.

III. Sejarah Drama Sulawesi Selatan (Sinrili')
A. Pengertian Sinrilik
Karya Sastra Makassar cukup memiliki arti dalam kehidupan penutur Bahasa Makassar. Salah satu karya sastra di antara sekian banyak karya satra adalah sinrilik. Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik. Hingga saat ini, masih dipelihara dan diminati oleh masyarakat Makassar. Meskipun karya sastra ini masih diminati oleh masyarakat, namun orang yang dapat melagukannya atau membacakan sangat terbatas. Oleh karena itu, karya satra jenis ini perlu mendapat pembinaan agar tetap lestari.
Sinrilik sebagai salah satu bentuk sastra lisan, sangat terkait dengan hal-hal :
1.      Pencerita dan penceritaan,
2.      Kesempatan bercerita,
3.      Tujuan bercerita,
4.      Hubungan cerita dengan lingkungannya,
5.      Jenis cerita yang disampaikan, dan
6.      Pendengar.
Menurut Bantang seorang Sinrili’wan harus menguasai beberapa hal, yaitu :
1.      Pandai berbahasa Makassar,
2.      Kaya paruntuk kana,
3.      Kaya kelong,
4.      Menguasai dialek bahasa Makassar,
5.      Menguasai banyak rapang dan pappasang,
6.      Mampu mengaprsiasikan dan menyatu dengan alam.

Pada acara-acara tertentu, sinrilik dipentaskan oleh seorang seniman, yang selain menguasai sastra sinrilik juga mampu menggesek kesok-kesok (sejenis instrument musik gesek). Orang yang mementaskan sinrilik ini disebut orang pakesok-kesok.

B. Jenis-Jenis Sinrilik
               Berdasarkan isi dan cara melagukannya, sinrilik dibagi atas dua macam, yaitu sinrilik pakesok-kesok dan sinrilik bositimurung. Sinrilik pakesok-kesok adalah sinrilik yang dilagukan dengan iringan kesok-kesok (rebab). Isinya melukiskan tentang sejarah perjuangan dan kepahlawanan seorang tokoh. Bunyi kesok-kesok (sejenis alat musik gesek) yang mengiringi pakesok-kesok/pasinrilik (orang yang memainkan kesok-kesok atau melagukan sinrilik) harus selaras dengan lagu dan isi serta suasana cerita yang dibawakan.
               Adapun naskah sinrilik yang dapat diiringi dengan kesok-kesok, antara lain Sinrilik Kappalak Tallumbatua, Sinrilik I Makdik Daeng Rimakka, dan lain-lain. Sinrilik ini mengisahkan tentang perjuangan dan kepahlawanan di sela percintaan sang tokoh yang ditampilkan dalam cerita itu. Jenis sastra ini sangat menarik apabila dikreasikan menjadi sastra pertunjukan.
               Sastra bositimurung adalah sinrilik yang dilagukan tanpa diiringi alat musik kesok-kesok dan biasanya dilantunkan pada tempat yang sunyi di kala orang yang berada di sekelilingnya sedang tidur nyenyak.
Sinrilik bositimurung pada dasarnya berisi hal-hal sebagai berikut :
1.      Pujaan yang menggambarkan kecantikan seorang gadis dengan membandingkan keadaan sekelilingnya.
2.      Merindukan kekasih yang menggambarkan kerinduan seorang jejaka terhadap gadis yang dicintainya.
3.      Beriba hati yang menggambarkan seorang yang sial atas segala usahanya sehingga menjadi sengsara.
4.      Kesedihan yang menggambarkan kesedihan seorang istri yang ditinggal oleh suaminya (Basang, 1997:72).

Selain itu, sinrilik bositimurung dapat pula dijadikan sebagai pelajaran atau nasihat yang berharga bagi orang yang menyimaknya karena isinya menceritakan tentang ganjaran perbuatan yang baik dan siksaan terhadap perbuatan jelek di akhirat kelak. Sinrilik yang mengisahkan tentang hal-hal seperti ini biasanya dilantungkan pada saat kedukaan atau kematian sehingga dapat pula dijadikan sebagai hiburan bagi orang yang ditinggalkan.Acara tersebut biasa disebut Ammaca Kittak yang pelaksanaannya dilakukan setelah tadarrus Alquran.

C. Contoh Sinrilik

1.      Sinrilik Pakesok-kesok
Nampami sulengka rapak, natakbenrong binakbakku kesok-kesokna tampaselaki matangku “Baru saja ia bersila, terpukullah jantungku, kesok-kesoknya membuatku tak dapat tidur”. Penampilan dan gesekan kesok-kesok tersebut sangat memikat penonton, sehingga tahan untuk tak tertidur.
(Sirajuddin Bantang)

2.      Sinrilik Bositimurung
Bosi timurung, batu merah pandanganku, dingin menulang jamrud hatiku. Semalam suntuk aku gelisah, aku tidak dapat tidur, mataku tidak pernah terlena. Robek-robeklah selimut yang tidak pernah kubuka memikirkan raut mukamu, menghitung-hitung kebaikanmu. Engkau bagaikan bulan yang tidak pernah tertutup awan. Engkau seperti bintang yang tembus dipandang, berkedip-kedip tidak pernah lepas dari mataku. Engkau tidak pernah lepas dari perhatianku, mutiara kamarku yang selalu menerangi rumahku. Suluh di kegelapan penerangan di tengah malam.

Hatimu baik, tubuhmu langsing jarang menyamainya, tingkahmu bagus, sopan tutur sapanya, si manis darah yang menawan dipandang mata. Sudah kukatakan bahwa walau pattola (gadis pilihan) sudah berkumpul bermain, walau cinde (gadis pilihan) sudah berkumpul di halaman, pilihanku tidak akan berpindah, pusat pandanganku tidak akan bergeser ujian cintaku, memang kepadamulah meraja rasa hatiku. Pada akhirnya dia berkata : bagaikan intan kusayangimu, bagaikan jamrud kurindukanmu, bagai emas kusimpan di dalam hati.

Selasa, 12 November 2013

FEMINISME

Berbicara feminisme artinya membicarakan ideologi, bukan wacana. Hakikat feminisme adalah perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan, dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan. Kekhasan feminisme adalah melawan penindasan. Perlawanan ini ditempuh dengan berbagai macam cara atau aksi. Karena melawan penindasan, maka perlawanan ini harus diawali dengan adanya kesadaran kritis dan pengorganisasian diri. Dengan mata, hati dan tindakan yaitu bahwa dia menyadari, melihat, mengalami adanya penindasan yang terjadi pada perempuan mempertanyakannya, menggugat dan mengambil aksi untuk merubah kondisi tersebut. Feminisme dengan demikian berpihak pada perempuan, pada mereka yang ditindas, didiskriminasi, diekploitasi, dan diabaikan. Feminisme membongkar pengalaman ketertindasan sebagai perempuan, mempertanyakan relasi-relasi kekuasaan yang berlangsung pada perempuan. Feminisme memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan, memperjuangkan perempuan sebagai manusia merdeka menuju penataan hubungan-hubungan sosial baru di mana perempuan sama dengan laki-laki menjadi subjek utuh dalam membuat keputusan dalam alokasi kekuasaan dan sumber-sumbernya. Perubahan ini datang tidak dengan sendirinya melainkan harus diperjuangkan.
Feminisme dimulai sejak perempuan mulai secara sadar mengorganisasikan diri mereka dalam skala yang cukup untuk memperbaiki kondisi ketertindasan mereka. Awal abad 17 istilah feminisme mulai digunakan, maknanya dipahami dalam konteks waktu itu, berakar pada analisis politik tahun 1970-an. Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis Lisa Tutle, 1986, feminisme atau bahasaInggris : feminism, berasal dari bahasa latin yaitu femina: woman dan secara harfiah artinya ‘having qualities of femals’. Telah disepakati bahwa feminisme sebagai istilah untuk pertama kali digunakan pada abad ke-17 di Inggris, menurut Kumari Jayawardena (1986). Dalam buku ‘Feminism and Nationalism in theThird World (1986)’ Kumari menguraikan bahwa perbincangan mengenai hak  perempuan dan pendidikan telah berlangsung di Cina pada abad 18 dan bahwa pada abad 19 dan awal 20 telah ada perjuangan kaum feminis di India, Iran, Turki,Mesir, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Srilanka, dan Indonesia.
 
Keragaman Pemikiran Feminisme
a.       Feminisme Liberal
Aliran pemikiran politik yang merupakan asal mula feminisme liberal, berada dalam proses rekonseptualisasi, pemikiran ulang, dan penstrukturanulang. Feminisme liberal menekankan, pertama-tama bahwa keadilan gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, sedangkan kedua,untuk memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi pemenang dan yang kalah. Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang. Hanya didalam masyarakat seperti itu perempuan dan laki-laki dapat mengembangkan diri. Akar feminisme abad ke-18 dan ke-19 Alison Jaggar, dalam Feminist  Politict and Human Nature, mengamati bahwa pemikiran politis liberal mempunyai konsepsi atas sifat manusia, yang menempatkan keunikan kita sebagai manusia dalam kapasitas kita untuk bernalar. Keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan. Bagi kaum liberal klasik negara yang idelal harus melindungi kebebasan sipil (misalnya, kebebasan menyampaikan pendapat). Bagi kaum liberal yang berorientasi kepada kesejahteraan. Sebaliknya, negara yang ideal lebih fokus pada keadilan ekonomi kebebasan sipil. Menurut pandangan kelompok liberal ini, individu memasuki pasar dengan perbedaan pada posisi asal yang menguntungkan, bakat inhern dan keuntungan semata. Feminis liberal kontemporer tampaknya lebih cenderung kepada liberalisme yang berorientasi kepada kesejahteraan.
b.      Feminisme Radikal
Feminisme radikal melihat tegas hubungan atau relasi kekuasaan laki-lakidan perempuan. “Personal is Political” menjadi kata kunci bagi feminisme radikal. Jika feminisme liberal melihat sumber masalahnya adalah diskriminasi terhadap kebebasan, hak individu, dan kesempatan perempuan maka feminisme radikal melihat sumber masalahnya adalah ideologi patriarki. Feminisme radikal percaya pada pentingnya otonomi dan gerakan perempuan. Dia melihat persoalan personalitas perempuan tidak boleh dipisahkan dengan persoalan publik. Apapun yang menyangkut perempuan adalah politik, misalnya menilai perkawinan atau tidak mau menggunakan alat kontasepsi. Politik bagi mereka bukan hanya sekedar jadi anggota legislatif atau partai. Feminisme radikal juga menolak dipisahkan publik otoritas sosial ekonomi perempuan, dan tawaran solusi fire stone adalah perempuan harus merebut pengendalian atas alat-alat teknologi reproduksi.
c.       Feminisme Marxis dan Sosialis

Feminis marxis mengidentifikasi bahwa kelasisme merupakan penyebab opresi kepada perempuan. Opresi tersebut merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak pernah selesai sehingga terdapat konsepsi pada diri perempuan bahwa jika mereka tidak melakukan pekerjaan seperti itu, maka mereka bukanlah perempuan. Feminis marxis menjelaskan pula bahwa untuk mengetahui mengapa perempuan teropresi oleh laki-laki harus melakukan analisa pada hubungan di antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan.